Hendrick Brocks “The Tiger of Asia”
Seorang legenda sepeda tanah Jawa Barat, gold medalist Asian Games dan seorang olympian, dikenal sebagai Macan Asia dengan trio mautnya bersama Wahju Waldini, dan Aming Pritana berhasil merajai kancah kompetisi sepeda nasional di tahun 60an. Pada bulan Maret tahun 2020, tim Manta Liberta berkesempatan berkunjung ke kediaman sang legenda di Sukabumi, untuk berbincang-bincang, diskusi, dan nostalgia balap sepeda.
Sukabumi 18 Maret 2020, Jawa Barat. Siang itu kami berada di ruang tengah rumah kecil nan asri. Tampak berjejer trofi, piala, medali, penghargaan, dan berbagai memorabilia menghiasi lemari tua dan berdebu di kediaman beliau. Tidak lama kemudian, datang sesosok pria menggunakan tongkat dengan tubuh besar rambut putih mendekati kami, beliau agak tergopoh berjalan. Namun, semangatnya tetap membara pada saat suara parau menggelegarnya memanggil kami “mangga calik!” (read:silakan duduk).
Lalu setelah basa-basi, hati dan otak kami sangat tergelitik untuk segera bertanya dan mulailah interview menyenangkan dengan dialog yang ringan khas dialeg sunda.
“Bapak bagaimana awalnya bisa bersepeda?” tanya kami. Lalu dengan lugas beliau menjawab, “Awalnya karena saya pulang-pergi sekolah menggunakan sepeda dan melewati jalur-jalur jalan tanjakan yang jarang dilalui macam kendaraan, terkadang apabila sedang bersemangat untuk menaklukan suatu tanjakan bisa bisa saya sampai bolos sekolah dan dimarahi oleh orang tua, karena Papih (panggilan kesayangan ayah) tidak suka saya menghabiskan waktu terlalu banyak bersepeda. Namun, dari situ lah saya mulai mencintai sepeda! Semua yang dipikirkan hanya sepeda, hingga suatu waktu mengikuti balap sepeda pertama di Sukabumi menggunakan sepeda kumbang yang dipinjamkan oleh teman, dan dijanjikan oleh papih akan dibelikan sepeda balap (Road Bike) apabila bisa mendapatkan Juara 1 dalam event tersebut. Pada saat itu sangat sulit untuk mendapatkan Road Bike. Sedangkan peserta yang lain pada event ini menggunakan sepeda balap (Road Bike) dan memiliki pengalaman dan juga teknik yang sudah matang. Tidak ada yang saya pikirkan selain mengakayuh sepeda kumbang ini secepat dan sekencang mungkin untuk mendapatkan sepeda balap (Road Bike) yang dijanjikan oleh papih dan ternyata Alhamdulillah! Saya mendapatkan Juara 1 dalam event tersebut.
Setelah mendapatkan sepeda balap itulah saya mulai berlatih dan mengikuti event-event sepeda balap di Bandung, Jakarta, Bogor, dan kota lainnya sehingga bertemu dengan pembalap-pembalap professional lainya seperti Munaip Saleh, Theo Polhaulpessy, Ronny Noma, dll. Lalu, memulai prestasi di balap sepeda akhirnya saya bergabung dengan team Jawa Barat dan di tahun 1959 saya masuk ke Timnas Balap Sepeda Indonesia. Dan di tahun 1960 saya mengikuti Olimpiade ke-17 di Roma, Italia.
Proses pelatihan yang saya alami sangatlah keras, tapi dalam latihan tersebut saya yakin bahwa semua latihan keras ini akan berbuah hasil yang memuaskan dan terbukti dalam event-event nasional saya banyak membawa pulang Medali Emas. Hingga pada saat pencapaian terbesar adalah ketika Asian Games ke-4 tahun 1962 saya mendapatkan 3 Medali Emas, 1 Emas di Kelas Open Road Race, 1 Medali Emas di kelas Team Road Race, dan 1 Medali Emas di Kelas Team Time Trial bersama dengan Wahju Waldini, Aming Pritana, dan Hasjim Roesli. Kami dikenal sebagai Macan Asia di dunia balap sepeda pada era tersebut. Dan saya adalah satu satunya pembalap sepeda Indonesia yang mengikuti 3 kali Olimpiade, di Roma, Tokyo, dan Meksiko.”
Bersemangat dengan memperlihatkan medali emas dan trofi yang beliau raih pada event-event tersebut, beliau juga menyampaikan pesan-pesannya untuk para atlet sepeda & cyclist generasi saat ini.
…
“Kunci dari kemenangan adalah menyelaraskan antara Akal, Hati, dan Dengkul. Niscaya Usaha dan pengorbanan akan berbanding lurus dengan hasil” ujarnya.
Dari pesan tersebut kita belajar bahwa mempercayai hal yang diyakini konsisten terhadap tujuan akan membawa kita terhadap hal-hal besar yang tidak dapat dibayangkan, dari sebuah sepeda kumbang di sukabumi menuju olimpian.